Saturday, March 3, 2012

Story : Andai Waktu Dapat Diputar Kembali


Namaku Nina, sekarang aku duduk di kelas 1 SMP di SMP 1 di kota Semarang. Aku dibesarkan di keluarga yang kurang berkecukupan, karena ayah telah meninggal 10 tahun yang lalu sehingga ibu harus menggantikan ayah sebagai kepala keluarga. Dan ibu bekerja sebagai pegawai di warung dekat rumah, sehingga gajinya tidaklah banyak. Sebulan saja biasanya hanya  Rp 20.000,-. Itu membuatku agak kesulitan karena harus memakai barang-barang seadanya saja dan membuatku sedikit minder di sekolah. Tapi sejauh ini, tidak ada yang pernah menanyakan pekerjaan ibu atau mempermasalahkan penampilanku. Dan lagi, aku adalah murid terbaik di kelas jadi itu cukup untuk menutupi kekuranganku itu.
Hari ini, saat pelajaran BK, guruku sedang membahas masalah keluarga. Kemudian kami satu per satu ditanyai tentang pekerjaan orang tua kami. Aku sangat berdebar. Aku takut. Aku takut jika aku jujur, maka semua temanku akan menertawakanku. Tapi, aku tak berani berbohong. Tapi, jika aku jujur... Aduh, aku jadi bingung begini! Tapi akhirnya kuputuskan saja untuk jujur.
“Nina, apa pekerjaan ayahmu?” tanya Bu Yuni, guru BK-ku.
“Eh... ayah saya sudah meninggal... jadi yang bekerja adalah ibu saya...” jawabku.
“Oh, maafkan Ibu jika itu menyinggungmu. Lalu, apa pekerjaan ibumu?”
“Mmm... pe-pegawai di warung dekat rumah, Bu...” jawabku dengan tergagap namun dengan jujur.
“Hah?! Hei teman-teman! Tadi kalian dengar gak? Si Nina, murid kebanggaan kelas kita, ternyata ibunya bekerja di warung loh....! Hahahahahahaa!” teriak Rika, teman sekelasku, yang kemudian diikuti oleh tawa teman-teman sekelas. Bahkan sahabatku, Miki, juga ikut tertawa. Aku pun jadi merasa sangat malu dan otakku kini dipenuhi oleh tawa ejekan dari teman-teman sekelas.
“Tenang semuanya! Tenang!!” seru Bu Yuni yang spontan membuat semua murid terdiam.
“Nina, maaf ya sepertinya ibu telah membuatmu jadi begini...”  
“Ah... tidak apa-apa kok, Bu. Saya... sudah terbiasa,” kataku berbohong.
Sebenarnya, hatiku terasa sakit sekali menerima kenyataan ini. Aku tidak sanggup menerima kenyataan ini. Ternyata pilihanku untuk jujur itu salah. Seharusnya aku berbohong saja agar ini tidak terjadi. Tapi, waktu tak bisa diputar lagi. Lalu aku harus bagaimana? Menanggung segala risiko? Ah... hanya itu yang bisa kulakukan sekarang. Yah, entah apa yang akan dilakukan teman-teman sekelas terhadapku, aku harus siap menanggung risikonya.
Hari ini adalah hari Senin. Aku yang sudah siap ini langsung bergegas sarapan. Kulihat ibu berdiri di dapur sambil melihatku. Aku yang merasa risih pun akhirnya mengomel pada ibu.
“Apa sih Bu, liat-liat aku?! Udah deh, bikin risih aja! Sana, ibu masak aja atau ngapain kek yang penting jangan ada dihadapanku, bikin aku risih aja!”
Ibu terlihat sangat tercengang melihat sikapku. Ibu pun kemudian bertanya padaku,
“Apa yang terjadi padamu, Nak? Kamu jadi pemarah sejak tadi malam. Tidak biasanya kamu begini...”
“Ah! Bawel! Suka-suka aku dong! Aku mau baik kek, aku mau jahat kek, suka-suka dong!! Udah ah, aku jadi gak mood makan. Aku berangkat dulu!!” seruku sambil membanting pintu.
Aku berjalan dengan dongkol menuju sekolah. Rasanya aku jadi pemarah semenjak kejadian kemarin, terutama pada ibu.
Sesampainya di sekolah, aku langsung masuk ke kelas 7C –kelasku, dan duduk di bangkuku. Saat aku duduk, entah kenapa ada yang janggal di kursiku. Aku pun berdiri untuk memastikan apa yang terjadi, dan ternyata ada permen karet di kursiku.
“Aaaaaaaaah!!! Ada permen karet di kursikuuu!!!” jeritku spontan.
Teman-teman sekelas pun langsung pada tertawa.
“Ahahahahahaha! Hei anak miskin! Harusnya kau berterima kasih padaku dong! Aku membeli permen karet itu di warung tempat ibumu bekerja loh!” kata Rika dengan suara yang keras. Kemudian semua teman sekelas pun langsung tertawa lebih kencang dari yang tadi.
Aku langsung menunduk malu dan terus terduduk di kursiku, dikelilingi oleh seluruh anak kelas 7C yang tertawa demi mengucilkanku.
Sepulang sekolah, aku langsung berlari ke rumah karena tak tahan lagi ada di sekolah. Ini semua salah ibu! Terima kasih banyak ya, Ibu!!! Berkat ibu, aku jadi seperti ini; ditindas di sekolah!!!
Sudah seminggu aku melewati hari-hari penuh penindasan. Sudah seminggu pula aku terus memarahi ibu. 
“IBU!!! Apa iniii?!” jeritku.
Ibu yang mendengar jeritanku pun langsung menghampiriku.
“Ada apa, Nina?” tanyanya.
“Ini, lho! Ini!!! Jorok banget sih!” omelku sambil menunjuk lantai. Ibu pun mengikuti arah telunjukku dan ia melihat ada sekantung sampah yang baunya sangat menyengat.
“Lho... Bukankah ibu sudah membuangnya tadi...?”
“Kok malah tanya aku? Ya jelas aku gak tahulah! Udah cepat buang ini!!” omelku sambil menghentak-hentakkan kakiku. Ibu pun bergegas mengambil kantung sampah itu dan keluar rumah untuk membuangnya. Aku mendengus kesal melihatnya kemudian aku pun masuk ke dalam kamar. Belum sempat aku membuka pintu kamarku, tiba-tiba ibu mendatangiku.
“Nina, besok ibu akan keluar kota untuk mengecek barang pesanan warung, jadi ibu akan pulang larut malam. Meski harus mengeluarkan uang Rp 100.000, tapi Ibu harus ikut karena akan dapat uang tip yang jumlahnya cukup besar!” kata ibu dengan nada dan muka semangat.
“Hah? Terus kenapa?” tanyaku tidak peduli.
“Kalau kamu mau makan malam... kamu bisa masak sendiri?” Wajah ibu yang tadinya semangat langsung berubah kecewa.
“Ih, ogah ah! Males deh.... Mending ibu kasih aku uang buat aku beli makan deh!” kataku.
“Eh? Ya... ya sudah. Kamu butuh berapa?” tanya ibu.
Aku diam sebentar untuk menghitung banyak uang yang kubutuhkan.
“Mmm... Rp 100.000,” jawabku akhirnya. Ibu melebarkan matanya sambil melihatku.
“Eeh...?”
“Kenapa, hah?! Cuma Rp 100.000 aja pasti ada ‘kan?!” hardikku sambil mengulurkan tanganku. “Cepat sini!!” sambungku.
Ibu pun sambil gemetaran mengambil uang sejumlah Rp 100.000 dari dompet yang ia bawa padaku. Aku langsung menyambar uang itu dan menamparkannya pada telapak tanganku.
“Sip, thanks ya Bu! Ahahahaaa!” tawaku sambil berjalan masuk ke dalam kamar. Yeah! Akhirnya aku dapat uang Rp 100.000! Hm, ternyata asik ya mengerjai ibu sendiri. Apalagi kalau sampai bisa dapat uang 100.000 begini... Ahahahaha!!
“Besok aku bakal habisin uang ini buat makan KFC dan buat beli novel tentunya!” kataku pada diriku sendiri.
Lalu keesokan harinya, meski harus ditindas di sekolah, tapi aku tak terlalu memikirkannya. Karena sepulang sekolah nanti aku akan bersenang-senang sendirian!!
“Heh, Nina! Apa-apaan kamu, cengar-cengir begitu, hah?!” hardik Rika.
Gawat! Jangan sampai ada yang tahu nih!! pikirku.
“Eh? Ah, enggak... Nggak ada apa-apa, kok...” kataku.
Rika hanya diam. Aku pun lega karena sepertinya rencanaku gak ketahuan. Tapi, tanpa kuketahui, ternyata Rika punya rencana jahat...
Yeah, akhirnya jam pulang sekolah tiba! Aku bergegas berlari menuju rumah untuk ganti baju sebentar, kemudian setelah ganti baju aku langsung pergi ke toko buku terbaik, yaitu tentu saja Gramedia. Aku pergi ke sana dengan menaikki bis. Untunglah tidak ada anak dari SMP 1 di dalam bis itu.
Sesampainya di Gramedia, aku pun langsung melangkahkan kakiku menuju bagian novel di lantai 2. Di sana, aku melihat novel-novel berderetan di sana. Uwaaah... aku merasa seperti ada di surga novel!
Tak terasa sudah 1 jam aku menghabiskan waktuku di sana. Setelah membaca-baca beberapa novel, akhirnya kuputuskan untuk membeli 2 novel : Seoulover dan Invinitely Yours. Setelah membayar kedua novel tersebut, aku pun langsung pergi ke KFC di Pandanaran dengan menaikki angkot.
Sesampainya di sana, aku langsung memesan menu yang menarik perhatianku; Oriental Bento dan Moca Float. Karena cepat saji, jadi aku tidak perlu menunggu lama-lama. Aku pun memilih untuk duduk di kursi dekat pintu masuk. Nyam... segera kusantap makanan cepat saji itu. Hmm... ternyata rasanya enak banget! Selama ini ibu selalu melarangku untuk makan makanan cepat saji. Tapi mumpung ibu lagi di luar kota, jadi aku ambil kesempatan ini untuk mencoba makanan yang digemari anak remaja ini.
Setelah puas makan, aku tidak langsung pulang tapi aku duduk-duduk dulu sebentar di sana. Tiba-tiba aku merasa ingin ke kamar mandi. Jadi kutinggalkan tempat dudukku dan pergi ke kamar mandi.
Di sana, aku sangat terkejut. Tanpa kuduga-duga, di sana aku bertemu dengan...
“Rika... dan Miki...? Kalian sedang apa di sini?” tanyaku.
“Hmm... sedang apa? Tentu saja untuk makan! Kami ini kan orang mampu jadi bisa selalu pergi ke sini! Gak kayak kamu, pasti ini kali pertama kamu ke sini kan?” Rika balik bertanya. Glek. Aku menelan ludah. Padahal sampai tadi aku merasa sangat bahagia, tapi kalau harus bertemu dengan Rika...
“M-Maaf, aku harus pulang du–”
SRET! Tiba-tiba Rika dan Miki menarikku ke dalam gudang yang ada di dekat kamar mandi. Aku gemetar ketakutan.
“Ma-mau apa kalian?!” jeritku.
“Huh... Kamu ini kan cuma anak miskin. Ngapain kamu di sini? Ini tempat buat orang mampu, bego! Ditambah lagi aku lihat kamu membeli 2 novel. Darimana kamu dapatkan uang? Kamu pasti mencuri ya?!” Rika mencoba untuk memojokkanku. Aku terus gemetaran.
“Hei gadis miskin! Ayo jawab!” seru Miki sambil menendang kakiku.
“Aduh!” Aku merintih kesakitan.
“Jawab, bego!” seru Rika sambil menarik rambutku.
“Aduuhh! Iya, iya, akan kujawab! Aku... dapatkan uang itu dari ibuku,” jawabku.
“Alah, bohong kamu! Kamu kan miskin, belum lagi gaji ibumu hanya 20.000 perbulan kan? Ayo ngaku, darimana kamu dapat uang itu?!” Rika menendang lenganku.
“Aku... aku nggak bohong kok! Aku berani sumpah!!” kataku.
“Masih belum mau mengaku, hah?”
“Aku gak bo–”
“Miki, tolong ambilkan pel dong,” kata Rika pada Miki sambil mengulurkan tangannya kebelakang. Miki pun menuruti perkataan Rika dan mengambilkan barang yang dibutuhkannya. Rika pun mengambil pel itu. Aku punya firasat buruk.
“Un-untuk apa itu?!”
“Untuk apa? Tentu saja untuk... Membersihkan muka jelekmu itu!” seru Rika sambil mendaratkan kain pel itu tepat di mukaku.
“Aaaaah!!!” Aku menjerit kesakitan.
“Ahahahahaha! Ahahaha!” tawa Rika dan Miki menggelegar.
Mereka terus saja mengelapkan kain pel itu di mukaku. Mereka terus saja tertawa, sedangkan aku terus merintih kesakitan. Dadaku sesak, sesak sekali rasanya. Pandanganku pun perlahan-lahan kabur.
Siapa pun tolong! TOLONGLAH AKU...!!
BRAK! Terdengar suara pintu di dobrak.
“HENTIKAN...!!” jerit seseorang. Aku tak dapat melihat dengan jelas siapa orang itu karena pandanganku sudah sangat kabur. Namun dapat kurasakan, sepertinya orang itu telah menyelamatkanku.
Tak lama setelah itu, aku merasa seperti melayang. Dan aku mendengar ada yang berbisik di telingaku,
“Syukurlah kau selamat, malaikat kecilku.”
Ah... Mungkin aku sedang bermimpi indah. Mungkin kini aku sudah ada di surga...

“...na, Nina!” Samar-samar kudengar ada seseorang yang memanggilku.
“Nina! Nina! Kau sudah sadar, Nak?!”
Perlahan aku membuka mataku. Di depan mataku, kulihat ibu yang sedang menangis sambil tersenyum bahagia.
“I...bu? Aku... aku dimana...? Ini...bukan surga..?” tanyaku dengan suara yang lemah.
“Bukan, Nak! Kau ada di rumah sakit! Kau masih hidup, Nak!”
“Ibu...? Bukankah tadi aku sedang bersama Miki dan Rika...?” tanyaku lagi masih dengan suara lemah.
“Iya! Tapi kemudian ibu memarahi mereka. Sekarang mereka sudah pulang,” jawab ibu.
“Jadi... tadi ibu yang menyelamatkanku...?”
“Iya, Nak..”
“Tapi bukankah ibu bilang hari ini ibu keluar kota?”
Ibu terdiam sebentar.
“...Ibu tidak jadi keluar kota.”
“Apa? Kenapa?!” tanyaku, kaget.
“...Ibu tidak ada cukup uang, Nak,” jawab ibu.
“Apa?!” seruku. Kalau kuingat-ingat, bukankah ibu bilang meski mengeluarkan uang 100.000, tapi jika ikut keluar kota akan mendapat uang tip yang besar? Ya Tuhan! Aku ini jahat sekali! Kenapa aku tak menghiraukan perkataan ibu?! Ya Tuhan...
“Ibu... maafkan Nina ya... maaf Nina belakangan ini sering memarahi ibu. Maaf Nina belakangan ini bersikap egois pada ibu... Maafkan Nina, Bu... Maafkan Nina...! Nina sangat menyesal...” kataku sambil memeluk ibu dan menangis.
Ibu menyambut pelukanku dan berkata,
“Yang penting kamu selamat, malaikat kecilku...”
Aku menangis tersedu-sedu. Sungguh aku sangat menyesal telah berbuat egois, apalagi terhadap ibuku sendiri. Ibu yang telah melahirkanku. Ibu yang telah merawatku. Ibu yang bekerja keras sendirian demi menghidupiku. Ah, andai waktu dapat diputar kembali, aku pasti tak akan bersikap egois dan pemarah seperti beberapa hari yang lalu.

Temen-temen... ini cerpenku yang buat tugas Bahasa Indonesia. Gimana menurut kalian? Kalau aneh atau gak bisa dimengerti, tolong dikoment ya! ^^


No comments:

Post a Comment